![]() |
By Abu Nur Muhammad Ridwan Abdus Salam |
Oleh : Gita Agressia Eka Adnesa, A.Md
Islam adalah agama yang berasal dari Allah SWT, Pencipta alam semesta
dan seluruh isinya. Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang mustahil
menurunkan agama yang akan menyengsarakan, membuat rusuh, dan menebar
kebencian di tengah-tengah manusia. Allah SWT dengan tegas menyatakan
dalam Qs. Al-Anbiya (21): 107 bahwa “Tidaklah Kami utus Engkau
(Muhammad) melainkan menjadi rahmat bagi seluruh alam (Rahmat[an] li
al-‘Alamîn).”
Akan tetapi, sejak Amerika Serikat menabuh genderang perang melawan
terorisme (al-Qaeda) sebagai buntut dari runtuhnya gedung kembar WTC
pada 11 September 2001, sejak saat itu seluruh dunia merasa memiliki
musuh yang sama. Anehnya, terorisme yang dijadikan musuh selalu
diidentikkan dengan Islam dan ajaran-ajaran Islam. Islam dan
ajaran-ajarannya, diposisikan sebagai ancaman bagi umat manusia dan
dunia. Berbanding terbalik dengan ayat di atas.
Perang melawan terorisme di tanah air dikomandoi oleh BNPT (Badan
Nasional Penanggulangan Terorisme). Meski sudah banyak pentolan teroris
atau orang yang disangka teroris dihukum mati, ditembak, atau
tertangkap, ternyata jaringan teroris tetap ada. Tidak sedikit dari
orang-orang yang bergabung dalam jaringan ini adalah anak-anak muda.
Sehingga muncullah wacana untuk melakukan program Deradikalisasi sebagai
upaya preventif melindungi pemuda dari ajaran-ajaran radikal. Tapi
anehnya, sekali lagi, yang dibidik adalah Islam dan ajaran-ajaran Islam.
Pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam, kegiatan-kegiatan
keagamaan di sekolah, Rohis, dan sebagainya dicurigai menjadi ladang
bagi tumbuh suburnya paham-paham radikal. Direktur Deradikalisasi BNPT,
Prof Irfan Idris dalam Training of Trainers (ToT) yang digelar Majelis
Ulama Indonesia, mengungkapkan adanya penyusupan di lembaga dakwah
kampus dan rohis di sekolah. Mereka menyebarkan paham radikal,
ungkapnya. Dia pun menyatakan bahwa gerakan radikal itu “ Ada di
mana-mana, bukan hanya di sekolah umum. Gerakan radikal itu menggunakan
semua cara. Dia mudah masuk karena menggunakan bahasa agama."
(Republika, 1/6)
Mewaspadai Sekulerisme
Promosi nilai-nilai sekuler-liberal yang massif di tengah-tengah
masyarakat, khususnya kawula muda harus menjadi kekhawatiran semua
pihak, baik guru, orang tua, masyarakat, lembaga-le,baga pendidikan,
ormas-ormas Islam, maupun pemerintah. Sistem sekuler membangun standar
nilai kebahagiaan berdasarkan kesuksesan dan ketercapaian materi an
sich.. Kondisi ini
diperparah dengan sistem pendidikan
yang berparadigma sekuler kapitalistik dan berorientasi pasar, yang
justru membentuk pola pikir materialistis pada peserta didik. Dengan
standar kebahagiaan ala sekuler tersebut dan kolaborasi dengan sistem
pendidikan sekuler kapitalistik inilah pada akhirnya memicu prilaku
hedon serta penyimpangan dan kenakalan remaja. Sex bebas, penyimpangan
seks (LGBT), narkoba, alkohol, geng motor adalah beberapa perilaku rusak
yang dipertontonkan generasi muda saat ini. Berbagai survey terkait
perilaku seks remaja sudah sering disajikan di berbagai media. Hasilnya
mencengangkan dan membuat kita mengelus dada. Bahkan Indonesia pernah
tercatat sebagai pengakses situs pornografi terbesar kedua di dunia
setelah Rusia. Bukankah kondisi ini jauh lebih layak untuk membuat
waspada? Karena pemuda adalah aset masa depan bangsa. Di tangannyalah
kelak nasib bangsa ini akan dibawa. Bila mereka sudah menjadi generasi
lemah yang hanya memikirkan kesenangan pribadinya dan cuek dengan
kehidupan di sekitarnya, alamat bahaya besar mengintai bangsa.
Kondisi ini diperparah dengan isu terorisme yang digaungkan ke
tengah-tengah pemuda. Pelekatan stigma teroris pada Islam menyebabkan
pemuda enggan menjadi muslim yang taat. Mereka merasa cukup menjadi
muslim yang biasa-biasa saja. Takut dicap sebagai orang fanatik dan
radikal. Sehingga ibadahnya pun ala kadarnya. Tapi urusan penampilan,
pergaulan , dan gaya hidup pemikiran liberal yang menjadi panglima.
Sejatinya Pemuda
Generasi muda adalah generasi dambaan umat, tulang punggung peradaban,
dan masa depan bangsa. Dengan kondisi fisik yang prima, pemuda didapuk
sebagai pemegang tonggak perubahan. Sejarah telah membuktikan bahwa
pemuda adalah garda terdepan dalam menginisiasi dan mengawal perubahan.
Kemerdekaan Indonesia 1945, berubahnya Orla ke Orba, serta momen
reformasi 1998 sarat akan peran pemuda. Begitu pula dalam sejarah Islam,
penuh diisi dengan peran serta pemuda. Dari sebagian besar sahabat Nabi
generasi awal, sebagian besar adalah pemuda. Mush’ab bin ‘Umair salah
satunya. Melalui tangannya, suku Aus dan Khazraj termasuk tokoh-tokoh
kuncinya menerima Islam dan siap dipimpin dengan Islam. Hingga
terjadilah Bai’at ‘Aqabah II yang menjadikan Rasul Muhammad saw sebagai
pemimpin baru mereka dan kaum muslimin seluruhnya, pemimpin dari Negara
Islam Madinah.
Karenanya tidak perlu takut dengan ideologi Islam. Justru ketika Islam
dipahami sebagai sebuah sistem kesatuan yang utuh, yang meliputi aqidah
dan syariah (aturan-aturan hidup) maka pemuda akan terjaga dari berbagai
pengaruh buruk pemikiran dan perilaku menyimpang. Dengan memahami Islam
sebagai ideologi tidak akan ada pemahaman salah terkait jihad. Tidak
akan ada yang menebarkan teror di tengah-tengah masyarakat, karena ia
memahami bahwa Allah SWT membenci aksi membuat huru-hara dan kerusuhan
di tengah-tengah masyarakat. Generasi yang paham Islam akan menjelma
menjadi generasi yang berkepribadian Islam, berjiwa pemimpin serta
berkualitas secara keilmuan. Maka, mari kita selamatkan pemuda dengan
mendekatkan ideologi Islam pada mereka, bukan sebaliknya melakukan
deradikalisasi, yang berarti menjauhkan para pemuda dari Islam dan
aturan-aturannya. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [VM]
0 Response to "Selamatkan Pemuda dengan Ideologi Islam "
Posting Komentar